Kamis, 23 Oktober 2008

Pernyataan Ilmiah Tentang Lalat

Seiring dengan perkembangan zaman dan majunya dunia ilmu pengetahuan, tampak jelaslah  kebenaran hadits Nabi shallallahu ‘alahi wasallam tentang lalat. Dalam hal ini, dunia kedokteran berhasil membuktikan keilmiahan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam itu.

Prof.DR.Amin Ridha menjelaskan beberapa poin tentang kenyataan tersebut, diantaranya, “... Ketiga, tidak benar kalau dikatakan bahwa dunia kedokteran belum pernah mengadakan pengobatan suatu penyakit dengan menggunakan lalat. Lalat pernah digunakan sebagai obat bagi penyakit borok menahun dan paru (Frambosia Tropica), yang terjadi pada 30 tahun pertama abad ke-20, sebelum struktur kimia sulfa ditemukan.

Untuk keperluan itu, lalat dipelihara secara khusus. Penemuan membuktikan bahwa lalat mengandung virus pembunuh kuman (bakterial). Dari penelitian itu ditemukan, bahwa lalat di samping membawa kuman-kuman penyakit, ia juga membawa bakterial yang membunuh kuman-kuman. Penelitian ini terhenti karena di saat yang bersamaan, ditemukan struktur kimia sulfa.

Keempat, Hadits tentang lalat menginformasikan adanya sejenis racun pada lalat.
Kenyataan ini baru ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern dua abad belakangan.
Sebelumnya, bisa jadi orang tidak mempercayai kebenaran hadits tentang lalat
ini. Jika sudah ditemukan bahwa lalat selain membawa penyakit, ia juga
mengandung bakterial pembunuh kuman, maka ada beberapa hal yang perlu diketahui:
Tidak benar, kuman yang dibawa lalat berbahaya dan menyebabkan berbagai
penyakit.

Tidak benar, banyaknya kuman yang dibawa oleh lalat cukup untuk menimbulkan
penyakit bagi orang yang menelan kuman itu.

Tidak benar, tubuh manusia dapat terhindar sama sekali dari semua kuman berbahaya. Kalau seandainya begitu, justeru itulah yang sangat berbahaya bagi  manusia. Sebab jika tubuh manusia berulang-ulang kemasukan kuman yang berbahaya dalam jumlah sedikit, maka kuman akan menjadi daya tahan terhadap kuman-kuman sejenisnya. Hadits tersebut memberikan informasi penting adanya kuman pada lalat, yang berlawanan dengan racun yang dibawanya. Ini membuktikan bahwa bakteri, virus dan kuman sejenisnya saling berperang dan saling mematikan; yang satu membunuh yang lain dengan jalan mengeluarkan zat beracun. Zat beracun ini yang kemudian digunakan sebagai bahan pengobatan yang lazim disebut antibiotika,
seperti: Penicilin dan Cloromicitin. Dan ini bukan saja ada pada lalat, hampir semua binatang berbisa ternyata bisanya itu malah menjadi penyembuh, jika dijadikan sebagai obat. Segala sesuatu yang belum ditemukan dan belum diteliti oleh ilmu pengetahuan jangan diramalkan. Tetapi penelitian harus dilakukan selengkap dan sesempurna mungkin dan tidak boleh dihentikan. Oleh karena itu, merupakan tindakan yang salah jika tergesa-gesa menilai ketidakrasionalan hadits tentang lalat ini tanpa bukti dari hasil penelitian ilmiah modern.”

Perlu diketahui, lalat hinggap pada barang-barang yang dipenuhi kuman-kuman, yang dapat menim-bulkan berbagai macam penyakit. Sebagian kuman itu berpindah ke organ tubuh lalat, dan sebagian lainnya dimakan. Dari kuman-kuman ini terbentuk unsur toxine di dalam tubuhnya, yang menurut istilah medis disebut antibakteria. Dialah yang bertugas membunuh berbagai kuman penyakit. Kuman-kuman penyakit ini tidak mungkin b ertahan hidup atau mempengaruhi tubuh manusia, selagi masih ada antibakteria, khususnya pada salah satu sayap lalat.

Karenanya, ia mampu mengarahkan bakteri ke arahnya, maka jika ada lalat yang jatuh pada makanan atau minuman, lalu kuman yang menempel pada sebagian organ tubuhnya berpindah ke makanan atau minuman, maka antibakteria yang juga dibawa lalat pada salah satu sayapnya akan bekerja membunuh kuman. Bila di sana ada penyakit, maka obatnya juga tidak akan jauh dari penyakit itu. Maka lalat tersebut dapat dibenamkan secara keseluruhan, baru kemudian dibuang. Hal ini sudah cukup untuk membunuh kuman yang dibawa lalat dan akan merusak kerja kuman tersebut. Selain itu, lalat bisa menyuburkan pembenihan kuman beberapa penyakit. Setelah beberapa saat kuman itu pun mati dan pengaruhnya tidak tampak. Kemudian
dalam lalat itu terbentuk unsur yang membunuh kuman-kuman yang dinamakan anti-bakteria. Apabila inti lalat diletakkan pada larutan yang bersih, maka akan diketahui empat macam kuman yang dapat menimbulkan berbagai macam penyakit, namun ada pula empat macam unsur yang mampu membunuh empat macam kuman itu, wallahu a’lam. 

(Sumber: a. Tafsir Ibn Katsir, b. Aysar at-Tafasir karya Abu Bakar al-Jaza`iri,
c. Majalah at-Tauhid,Vol.V, 1977; Musykilat al-Ahadits an-Nabawiyyah karya
Abdullah Ibn Al Najdi al-Qushaimi [sasak].

Kekuasaan Allah pada seekor lalat

Semua kita pasti tahu, apa itu lalat! Ya, ia seekor makhluk Allah subhanahu wata’aala yang dikenal suka hinggap di tempat-tempat yang jorok dan banyak membawa penyakit/kuman. Sekalipun begitu, ia ada disebutkan di dalam Al-Qur`an dan juga hadits nabawi. Lantas, apa keistimewaannya, sehingga Allah subhanahu wata’aala menyebut dan menyinggungnya? Adakah hikmah di balik itu? Bagaimana kedudukannya di dalam hadits nabi shallallahu ‘alahi wasallam? Adakah pernyataan ilmiah yang menunjukkan keistimewaannya? Melalui halaman yang singkat ini, Insya Allah kita akan menyinggung secara ringkas tema-tema tersebut.
Lalat di dalam Al-Qur`an
Lalat yang di dalam bahasa Arabnya, “adz-Dzubab” disinggung dalam satu ayat, yaitu ayat 73, surah al-Hajj. Allah subhanahu wata’aala berfirman, artinya, “Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun. Walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (QS.al-Hajj:73)
Dalam ayat ini terdapat seruan agar bertauhid kepada Allah subhanahu wata’aala dan kecaman terhadap kesyirikan dan orang-orang Musyrik. Sebagaimana dinyatakan Ibn Katsir rahimahullah dalam ayat ini Allah subhanahu wata’aala mengingatkan betapa hina-dinanya berhala-berhala itu dan betapa piciknya akal para penyembahnya.
Apa yang disembah orang-orang jahil dan musyrik itu diberi perumpamaan dengan sesuatu yang hina, yaitu seekor lalat. Bahwa sekalipun semua sesembahan mereka yang berupa berhala-berhala dan patung-patung itu berkumpul untuk menciptakan seekor lalat saja, benda-benda mati itu tidak akan pernah mampu melakukannya. Padahal apalah arti seekor lalat; makhluk yang sangat hina dan jorok. Bahkan, jangankan menciptakan, bila ada seekor lalat merampas sesuatu dari tubuhnya, berhala-berhala itu tak mampu untuk melindungi diri sendiri. Jadi alangkah lemah dan hinanya berhala-berhala itu, bilamana seekor lalat yang dikenal lemah dan jorok justru lebih kuat darinya. Karena itu, keduanya sama-sama lemah, baik lalat maupun berhala-berhala itu. 
Syaikh Abu Bakar al-Jaza`iri mengatakan, "Dibuatnya permisalan dengan seekor lalat itu merupakan sesuatu yang baik dalam bahasa Arab, karena dapat lebih mendekatkan kepada pemahaman."
Allah subhanahu wata’aala menyebutkan sesuatu di dalam Al-Qur`an bukan asal sebut. Pasti ada nilai lebih dari apa yang disebutkan itu. Contohnya, Allah subhanahu wata’aala banyak bersumpah dengan makhluk ciptaan-Nya seperti matahari, waktu Dhuha, dan seterusnya. Itu semua karena apa yang dijadikan objek sumpah itu memiliki nilai lebih di sisi Allah subhanahu wata’aala. Dan terbukti secara ilmiah kemanfaatannya bagi alam semesta ini, tak terkecuali penyebutan seekor lalat.
Lalat di Dalam Hadits Nabi shallallahu ‘alahi wasallam
Bilamana di dalam al-Qur`an hanya disebutkan dalam satu ayat saja, maka di dalam hadits nabi shallallahu ‘alahi wasallam penyebutannya lebih banyak. Salah satunya, terkait dengan adanya ‘dualisme’ dalam diri lalat itu. Artinya, di satu sisi pada dirinya itu terdapat racun, namun di sisi yang lain justru sebagai  penawarnya alias pada kedua sayapnya. 
Di antara hadits-hadits itu adalah sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Jika lalat terjatuh di minuman salah seorang di antara kamu, maka benamkanlah ia, kemudian lepaskanlah (buanglah), karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap yang lainnya terdapat obat (penawar).” (HR. al-Bukhari)

Hadits mengenai hal ini cukup banyak dan dipaparkan dengan redaksi yang hampir mirip.

Sepintas, hadits ini bagi kelompok yang berlebihan dalam mengkultuskan akal, seperti kelompok Mu’tazilah dan para Orientalis, hadits ini dianggap irrasional (tidak masuk akal). Sebab menurut akal mereka, bagaimana mungkin dapat diterima kenyataan bahwa lalat yang menjijikkan itu memiliki penyakit (racun) sekaligus obat (penawar). Apalagi bila ia terjatuh pada minuman, maka harus dibenamkan semua badannya agar minuman tersebut dapat dikonsumsi lagi dan tidak membahayakan. Sungguh menjijikkan.!! 

Tetapi realitasnya, hadits tersebut dari sisi kualitasnya adalah hadits yang shahih. Karena itu, tidak ada tempat dan alasan untuk menolaknya, sebab yang mengucapkannya adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam yang tidak mengatakan sesuatu kecuali berdasarkan wahyu Allah subhanahu wata’aala (QS. an-Najm:3).

Bagi orang beriman, bilamana telah terbukti secara valid dan kuat keshahihan kualitas suatu hadits, maka terlebih dulu ia harus meyakini kebenarannya, terlepas apakah ada hikmah di balik itu ataukah tidak! Hadits ini termasuk mukjizat Nabi shallallahu ‘alahi wasallam dari sisi ilmiah. Lalu, apakah memang terbukti secara ilmiah demikian.?

Senin, 20 Oktober 2008

Silaturahim: Menyiram Pohon Persaudaraan

Persaudaraan kadang seperti tingkah dahan-dahan yang ditiup angin. Walau satu pohon, tak selamanya gerak dahan seiring sejalan. Adakalanya seirama, tapi tak jarang berbenturan. Tergantung mana yang lebih kuat: keserasian batang dahan atau tiupan angin yang tak beraturan.

Indahnya persaudaraan. Sebuah anugerah Allah yang teramat mahal buat mereka yang terikat dalam keimanan. Segala kebaikan pun terlahir bersama persaudaraan. Ada tolong-menolong, terbentuknya jaringan usaha, bahkan kekuatan politik umat.

Namun, pernik-pernik lapangan kehidupan nyata kadang tak seindah idealita. Ada saja khilaf, salah paham, friksi, yang membuat jalan persaudaraan tidak semulus jalan tol. Ketidakharmonisan pun terjadi. Kebencian terhadap sesama saudara pun tak terhindarkan.

Muncullah kekakuan-kekakuan hubungan. Interaksi persaudaraan menjadi hambar. Sapaan cuma basa-basi. Tidak ada lagi kerinduan. Sebaliknya, ada kekecewaan dan kebencian. Suatu hal yang sulit ditemukan dalam tataran idealita persaudaraan Islam.

Lebih repot lagi ketika disharmoni itu menular ke orang lain. Keretakan persaudaraan bukan lagi hubungan antar dua pihak, bahkan merembet. Penyebarannya bisa horisontal atau ke samping, bisa juga vertikal atau atas bawah. Para orang tua yang berseteru, anak cucu pun bisa ikut kebagian.

Rasulullah saw. pernah mengingatkan itu dalam sabdanya, “Cinta bisa berkelanjutan (diwariskan) dan benci pun demikian.” (HR. Al-Bukhari)

Waktu memang bisa menjadi alat efektif peluntur kekakuan itu. Saat gesekan menghangat, perjalanan waktulah yang berfungsi sebagai pendingin. Orang menjadi lupa dengan masalah yang pernah terjadi. Ada kesadaran baru. Dan kerinduan pun menindaklanjuti.

Kalau berhenti sampai di situ, bisa jadi, perdamaian cuma datang dari satu pihak. Karena belum tentu, waktu bisa menjadi solusi buat pihak lain. Kalau pun bisa, sulit memastikan bertemunya dua kesadaran dalam rentang waktu yang tidak begitu jauh.

Perlu ada cara lain agar kesadaran dan perdamaian bertemu dalam waktu yang sama. Dan silaturahim adalah salah satunya. Inilah cara yang paling ampuh agar kekakuan, ketidaksepahaman, kekecewaan menjadi cair. Suasana yang panas pun bisa berangsur dingin.

Dengan nasihat yang begitu sederhana, Rasulullah saw. mengajarkan para sahabat tentang keunggulan silaturahim. Beliau saw. bersabda, “Siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah menyambung tali silaturahim.” (Muttafaq ‘alaih)

Menarik memang tawaran Rasul tentang manfaat silaturahim: luasnya rezeki dan umur yang panjang. Dua hal tersebut merupakan simbol kenikmatan hidup yang begitu besar. Bumi menjadi begitu luas, damai, dan nyaman. Sehingga, kehidupan pun menjadi sangat berarti.

Masalahnya, tidak mudah menggerakkan hati untuk berkunjung ke orang yang pernah dibenci. Mungkin masih terngiang seperti apa sakitnya hati. Begitu berat beban batin. Berat. Terlebih ketika setan terus mengipas-ngipas bara luka lama. Saat itulah, setan memposisikan diri seseorang sebagai pihak yang patut dikunjungi. Bukan yang mengunjungi. Kalau saja bukan karena rahmat Allah, seorang mukmin bisa lupa kalau ‘izzah bukan untuk sesama mukmin. Tapi, buat orang kafir.

Firman Allah swt. “Hai orang-orang yang beriman, siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya, yang bersikap adzillah (lemah lembut) terhadap orang mukmin, yang bersikap ‘izzah (keras) terhadap orang-orang kafir….” (QS. 5: 54)

Setidaknya, ada tiga persiapan yang mesti diambil agar silaturahim tidak terasa berat. Pertama, murnikan keinginan bersilaturahim hanya karena Allah. Ikatan hati yang terjalin antara dua mukmin adalah karena anugerah Allah. Ikatan inilah yang menembus beberapa hati yang berbeda warna menjadi satu cita dan rasa. Sebuah ikatan yang sangat mahal.

Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka….” (QS. Al-Anfal: 63)

Jangan pernah selipkan maksud-maksud lain dalam silaturahim. Karena di situlah celah setan memunculkan kekecewaan. Ketika maksud itu tak tercapai, silaturahim cuma sekadar basa-basi. Silaturahim tinggallah silaturahim, tapi hawa permusuhan tetap ada.

Kedua, cintai saudara seiman sebagaimana mencintai diri sendiri. Inilah salah satu cara mengikis ego diri yang efektif. Ketika tekad ini terwujud, yang terpikir adalah bagaimana agar bisa memberi. Bukan meminta. Apalagi menuntut.

Akan muncul dalam nurani yang paling dalam bagaimana bisa memberi sesuatu kepada saudara seiman. Termasuk, memberi maaf. Meminta maaf memang sulit. Dan, akan lebih sulit lagi memberi maaf.

Hal inilah yang paling sulit dalam tingkat keimanan seseorang. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak beriman seseorang di antara kamu, sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.”

Ketiga, bayangkan kebaikan-kebaikan saudara yang akan dikunjungi, bukan sebaliknya. Kerap kebencian bisa menihilkan kebaikan orang lain. Timbangan diri menjadi tidak adil. Kebaikan yang bertahun-tahun bisa terhapus dengan kesalahan semenit.

Maha Benar Allah dalam firmanNya, “…Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa….” (QS. 5: 8 )

Tak ada yang pernah dirugikan dari silaturahim. Kecuali, tiupan angin ego yang selalu ingin dimanjakan. Karena, ulahnya tak lagi membuat tangkai-tangkai dahan berbenturan.

Takut Mati

Ada seorang laki-laki yang disebut-sebut selalu berada di sisi Nabi Muhammad saw. Orang itu  sering dipuji dengan baik. Lalu Rasulullah bertanya, ''Bagaimana teman kalian itu menyebut mati?'' ''Kami hampir tidak pernah mendengar ia mengingat mati,'' jawab mereka. ''(Jika begitu), maka sesungguhnya teman kalian itu bukanlah di situ (di sisi Nabi),'' jawab Rasulullah. Seorang sahabat dari kaum Anshar bertanya. ''Wahai Nabi, siapakah manusia yang paling cerdas dan mulia?''

''Mereka yang sering mengingat mati dan (tekun) mempersiapkan diri menghadapi kematian. Mereka pergi dengan kelegaan dunia dan kemuliaan akhirat,'' sabda Nabi. Memasuki Tahun Baru ini, kiranya kita perlu mengingat hadis di atas, yang dikutip Imam Ghazali dalam Teosofia Al-Qur'an. Dalam setiap pergantian tahun, sebenarnya umur kita semakin mengurang. Hari-hari kehidupan kita semakin dekat kepada liang kubur alias kita akan mati.

Menurut Ghazali, dalam syariat Islam, kita akan mendapatkan pahala besar kalau sering mengingat kematian. Sabda Nabi, ''Aku tinggalkan dua pemberi peringatan di tengah-tengah kalian, yang diam dan dapat berbicara. Yang diam adalah maut (mati), sedangkan yang berbicara adalah Alquran.'' Dalam Alquran, Allah tegas mengatakan, ''Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (QS 62:8).

Namun demikian, tak jarang sebagian kita merasa takut menghadapi kematian. Takut mati, kata Murtadha Muthahhari dalam Jejak-jejak Ruhani, merupakan insting dan alami pada setiap makhluk hidup. Bayangan kematian adalah bayangan yang sangat menakutkan. Jika kita takut terhadap sesuatu, karena sesuatu itu akan membawa kematiannya. ''Sekiranya kematian itu tidak ada di tengah manusia, niscaya tidak ada sesuatu pun yang ditakutinya,'' tulis Muthahhari.

Menurut Ibn Miskawaih dalam Menuju Kesempurnaan Akhlak ada beberapa kemungkinan kenapa takut mati sering menghantui kita. Di antaranya, mungkin kita tidak tahu apa mati itu; tidak tahu di mana sebetulnya jiwa akan pergi nanti; salah menduga bahwa tubuh dan jiwa akan hancur tanpa bekas dan ada penderitaan yang sangat menyakitkan; takut siksa dan bingung apa yang akan kita hadapi setelah mati; atau kita terlalu sayang harta sehingga sedih meninggalkannya. ''Seluruh prasangka ini adalah salah, dan tak terbukti sama sekali,'' tulisnya.

Kalau kita takut mati, berarti kita takut terhadap apa yang mestinya didambakan. Kematian, kata Ibn Miskawaih, sebenarnya merupakan perwujudan dari apa yang tersirat dalam definisi tentang manusia sebagai makhluk hidup, berpikir, dan akan mati. Artinya, kematian justru menyempurnakan manusia. Lewat kematian, manusia mencapai bidang kehidupannya yang paling tinggi.

Minggu, 19 Oktober 2008

RAJIN DI DALAM TA'AT

Seorang yang berakal seharusnya menjaga empat macam untuk kebaikan amalnya,
dan tidak menyia-nyiakan usahanya:

1. Ilmu, supaya tiap amalnya berdasarkan ilmu

2. Tawakkal, supaya mendapat keluasan dalam ibadat dan tidak mengharap
kepada makhluk

3. Kesabaran, untuk kesempurnaan amal

4. Ikhlas, supaya dapat mencapai pahala.



Al-Hasan Al-Bashri berkata: Tiada seorangpun yang mengharap sorga melainkan
ia rajin, sehingga kurus dan layu dan tetap terus sehingga bertemu pada
Allah, tidakkah kamu memperhatikan firman Allah: "Innal ladziina Qooluu
Robbunaa Allaah tsummas-taqoomuu." (Sesungguhnya mereka yang menyatakan:
Tuhan kami Allah kemudian mereka istiqomah (tetap), tidak berubah dalam
taqwanya)
.



Seorang Hakiem berkata: Orang yang Istiqomah itu harus seperti
bukit, dan bukit ada empat tandanya:

1. Tidak cair karena panas

2. Tidak beku karena dingin

3. Tidak bergerak karena angin

4. Tidak berubah karena air bah.



Demikian pula seorang yang Istiqomah ada empat tandanya:

1. Tidak terpengaruh oleh budi seseorang untuk menegakkan hak

2. Juga tidak terpengaruh oleh kejahatan orang untuk menyeleweng dari
yang hak

3. Hawa nafsunya tidak dapat menghalangi untuk mengerjakan perintah
Allah

4. kekayaan dunia tidak dapat melupakan untuk ta'at kepada Allah.

Narasumber: Kitab "Tanbihul Ghofilin"